Selasa, 15 Juli 2008

Why?


Tadinya saya mau buat judul tulisan ini "kenapa?" tapi karena otak saya langsung berputar dan mulut saya bersenandung lagu dangdut...kenapa eh kenapa... jadi judulnya diganti dengan yang "agak berkelas" (terserah mo kelas berapa).

Gini ya...sebagian dari kita, apalagi orang-orang tua, pasti bangga kalau punya anak/mantu/sodara dll yang berprofesi sebagai dokter, apalagi dokter terkenal (terkenal mahal, terkenal manjur, terkenal galak dll). Teman- teman sekolah saya juga banyak yang sekarang sudah jadi dokter. Saya juga punya beberapa dokter yang jadi langganan keluarga. Umumnya adalah dokter spesialis yang sudah berumur dan punya nama di kota ini. Dokter adalah profesi yang tugasnya mengabdi pada masyarakat, siap membantu bila dibutuhkan dan yang pasti harus pintar karena pekerjaan yang dijalani terkait dengan nyawa manusia. Tapi belakangan ini, saya perhatikan sebagian dokter-dokter baru tidak lagi punya kompetensi yang cukup untuk menjalani profesinya. Hanya karena sedikit lebih pintar dari teman-teman sekelas dan kemampuan ortu untuk membiayai, maka jadilah mereka dokter. Soal pengetahuan tentang analisa gejala dan penyakit bahkan sering meleset. Segala penyakit selalu harus berakhir dengan antibiotik dan vitamin. Padahal tidak semua penyakit disebabkan oleh kuman, virus, bakteri dll yang memang harus dibasmi dengan antibiotik (ih...jadi sok paten kali kata-katanya).

Sebetulnya saya tidak begitu peduli dengan hal-hal yang terkait pengetahuan mereka, tapi lebih pada attitude-nya, sikapnya. Sebagian (tidak semua) dari dokter-dokter muda itu tidak mau ditempatkan di daerah terpencil, berusaha agar penempatan mereka selalu dekat dengan ortu atau kota tempat tinggalnya, yang pastinya bukan daerah terpencil. Sepertinya misi untuk mengabdi ke masyarakat tertutup dengan keinginan untuk "cepat balik modal" alias cepat kaya. Ditambah lagi dengan tingkah mereka yang terkesan arogan dan paling pintar sendiri, bahkan ada yang pantang dipanggil dengan namanya saja tanpa menambahi embel-embel dokter atau dok (bukan dog) dalam penyebutannya. Saya salut dengan dokter bersahaja yang tinggal di pedalaman Kalimantan ini.

Karena itu timbul pertanyaan "kenapa" dalam benak saya. Kenapa mereka yang harusnya berhati mulia, mengabdi pada masyarakat, menjadi contoh teladan yang baik bagi lingkungannya, justru menjadi si arogan yang materialistis dan membedakan pelayanan terhadap pasien kaya di rumah sakit terkenal dengan pasien Askes di rumah sakit pemerintah? Kenapa pula banyak masyarakat kita yang lebih percaya dokter negara tetangga daripada dokter negeri sendiri? (yang saya yakin sangat banyak bila dihitung dari plank putih berisi nama dan alamat praktek di setiap sudut jalan)

Saya cuma berharap bahwa ilmu yang mereka dapat di bangku kuliah bisa benar-benar diserap dan diterapkan sesuai dengan misi mulia mereka menjadi pengabdi bagi masyarakat, sehingga cerita malpraktek, salah obat, salah diagnosa, cacat dan kematian karena kelalaian dokter tidak lagi merebak di negeri tercinta ini. Saya tau bahwa mereka juga manusia yang tidak luput dari kesalahan, tapi bukankah manusia diberi akal untuk selalu berpikir dan memperbaiki diri?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mudah2 semua Dokter yg ada di negara ini sama seperti yg diceritakan di postingan ini.

Lalu,... apakah Dokter Hewan jg sama dgn dokter2 tadi..??

yantee mengatakan...

saya cuma kenal seorang dr hewan baik hati, baik budi, tulus ikhlas yg pernah bantu saya ngerawat kucingnya anak2 yg ketabrak mobil tetangga...and he's a nice person...